![]() |
| Marcopolo Sitanggang, Ketua Komunitas Pemuda Tampan Asal Samosir (KOPTIR). |
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan diri kita dihadapkan pada dua pilihan yang terlihat mirip namun memiliki perbedaan signifikan. Menjadi berkat untuk orang lain atau justru dimanfaatkan. Kedua hal ini bergantung pada tindakan individu atau komunitasmu.
Apa arti dari menjadi berkat?
Menjadi berkat berarti bahwa kehadiran kita memberikan dampak positif bagi orang lain. Ini bisa terwujud dalam berbagai bentuk, seperti menyisihkan waktu, menawarkan tenaga, memberikan perhatian, memberikan dukungan emosional, ataupun berbagi materi. Tindakan menjadi berkat tidak harus selalu dalam bentuk yang besar; kadang-kadang, gerakan kecil seperti mendengarkan, berdoa, atau memberikan semangat kepada seseorang yang sedang mengalami kesulitan bisa lebih bermakna.
Namun, untuk menjadi berkat, sikap bijaksana dan penerapan batasan yang sehat juga sangat diperlukan. Contohnya, Yesus Kristus melayani banyak orang namun Dia tahu waktu yang tepat untuk beristirahat dan mengisi waktunya dengan berdoa. Memberikan tanpa henti tanpa memperhatikan keadaan sendiri bisa menjadi tindakan yang kurang bijak.
Kapan kita merasa diperalat?
Kita mulai merasa dimanfaatkan ketika:
- Bantuan yang kita berikan dianggap sebagai sebuah kewajiban, bukan tindakan sukarela.
- Orang lain memiliki asumsi bahwa mereka berhak atas waktu dan tenaga kita, tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kebutuhan kita.
- Kita merasa bersalah saat menolak permintaan, meskipun sebenarnya kita hanya ingin menjaga diri.
- Hubungan yang kita jalani bersifat sangat timpang dan penuh dengan tekanan emosional.
Perasaan dimanfaatkan ini tidak hanya terjadi dalam konteks pekerjaan atau persahabatan, tetapi juga bisa muncul dalam pelayanan atau bahkan dalam lingkungan keluarga. Seringkali, kita terjebak dalam rasa segan, tidak enak, atau pemikiran bahwa “jika saya berhenti, siapa yang akan membantu?”
Kita boleh mengasihi, tetapi tidak dengan cara yang merugikan diri sendiri.
Kasih yang sehat itu seimbang.
Kasih yang sehat melibatkan dua pihak yang saling menghargai dan memberikan dalam suatu hubungan. Ketika kita memberi dengan tulus, kita tidak mengharapkan imbalan. Namun, jika seseorang terus menerus menerima tanpa menghormati batasan kita, hal itu sudah masuk dalam ranah manipulasi, bukan kasih.
Dalam 2 Korintus 9:7 ada tertulis:
"Hendaklah masing-masing memberi sesuai dengan kerelaan hatinya, bukan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita."
Ayat ini menegaskan bahwa pemberian yang baik muncul dari keikhlasan hati, bukan karena tekanan dari luar.
Tanda-tanda bahwa kita perlu merenungkan kembali, adalah beberapa pertanyaan yang dapat dipikirkan:
Apakah saya merasa tenang saat memberi, atau justru merasa dikibuli?
Apakah alasan saya memberi adalah kasih, atau karena ketakutan akan penolakan?
Apakah hubungan ini membantu saya tumbuh, atau justru menghabiskan energi emosional saya?
Apakah saya merasa memiliki ruang untuk mengatakan "tidak" tanpa merasa bersalah?
Menjadi berkat merupakan panggilan yang mulia, tetapi kita harus berhati-hati agar tidak tersesat dan menjadi korban dalam hubungan yang tidak seimbang. Kita diundang untuk mengasihi, tetapi bukan dengan cara yang merugikan diri sendiri. Kasih yang sejati mengetahui kapan saatnya untuk memberi, kapan saatnya berhenti, dan kapan saatnya untuk mendorong orang lain bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.
Ingatlah, Tuhan tidak memanggil kita untuk dimanfaatkan, melainkan untuk menjadi cahaya dan garam bagi dunia dengan sukacita, bukan dengan beban yang membuat kita menderita.
