Minum tuak bersama rekan rekan| IST |
WhatsApp salah satu fitur komunikasi terfavorit saat ini yang digunakan oleh khalayak ramai.
Fitur komunikasi yang dilahirkan Brian Acton dan Jan Koum ini pun cukup digemari. Mulai dari komunikasi pribadi, komunikasi via video secara online, bahkan komunikasi di grup grup yang dibuat untuk saling berdiskusi.
Berfungsi menjadi grup, WhatsApp dapat digunakan sebagai media untuk berdiskusi, berdebat bahkan berbagi keluh kesah sesama antar anggota grup.
Perdebatan dalam grup WA menghasilkan berbagai perspektif. Ada yang menilai sebagai perdebatan yang sungguhan. Ada yang menilai hanya sebatas komunikasi lintas pertemanan bahkan terkadang menjadi perdebatan yang menurut sebahagian orang adalah guyonan.
Kerap perdebatan dalam grup WA memancing adrenalin untuk melantunkan argumen berbasis frasa yang membuat orang membaca merasa, kemudian 'fakta' yang membuat orang membaca bertanya-tanya atau barangkali dengan kalimat yang tak beretika sehingga membuat orang membaca merasa kehilangan nilai estetika dan menjadi tertawa.
Ah, akupun pernah merasakannya. Bahkan, pernah terlibat di dalamnya. Nilai seni dan keindahan seolah sirna. Hanya ada senyum dan tawa, tatkala melihat dan membaca komunikasi dan perdebatan dalam grup WA.
Apalagi, ketika membaca perdebatan itu dalam kondisi minum tuak (mitu) bersama. Entahlah, akupun hanya bisa membaca, tak berani mengganggu suasana. Hanya saja, kalau bolehlah, mari berdebat yang berfaedah.
Minum tuak, bersantai bersama rekan-rekan terkadang tertepis ketika melihat komentar komentar unik dan sedikit nyeleneh di grup WA. Getar tawa menggema. "Kok ketawa, tambahlah minumnya. Jangan HP aja di lihat," ucap seorang rekan semeja.
"Siap. Ada sikit lawak lawak ku lihat di sini fren. Sory fren," kataku sedikit tersipu malu. Kemudian minum tuak (mitu) pun berlanjut sebagaimana mestinya.
Asyik...asyik... Ah...😁☺️